Selasa, 29 November 2011

Hambatan Eksekusi Putusan PTUN

Hambatan Eksekusi Putusan PTUN

A.    Kekuatan Eksekutorial Putusan Peradilan Tata Usaha Negara

Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dalam UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan sanksi bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Dalam perkembang selanjutnya dilakukan perubahan kedua terhadap UU No 5 Tahun 1986, dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 dimana di dalam Pasal 116 ayat (6) disamping diatur upaya-upaya sebagaimana diatur dalam UU sebelumnya, diatur pula mengenai pelaporan ketidaktaatan pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut kepada Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi serta kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. Namun demikian masih banyak kendala dalam pelaksanaan upaya-upaya pemaksa tersebut baik pelaksanaan dwangsom/uang paksa maupun sanksi admistratif.
Dalam proses hukum acara TUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta dari suatu putusan akhir pengadilan. Hanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan Pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap adalah :[1]
1.        Putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dilawan atau dimintakan pemeriksaan banding lagi;
2.        Putusan pengadilan tinggi yang sudah tidak dimintakan pemeriksaan kasasi lagi.
3.        Putusan MA dalam tingkat kasasi.
Pelaksanaan Putusan TUN dilakukan melalui surat tercatat, yang dikirim oleh panitera pengadilan TUN setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja. Setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan tersebut dikirim dan tergugat tidak secara suka rela melaksanakan isi putusan maka keputusan TUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Masalahnya apa dengan tidak mempunyai kekuatan hukum suatu putusan TUN, telah memenuhi rasa keadilan masyarakat? Banyak kasus, misalnya dalam hal Putusan TUN untuk membongkar suatu bangunan, pada saat Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak sahnya keputusan pejabatan TUN tersebut,ternyata bangunan tersebut telah dibongkar. Dan Pejabat TUN tidak mau secara sukarela menjalanankan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka terjadi eksekusi otomatis setelah 60 (enam puluh) hari kerja Putusan Pejabat TUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun dengan eksekusi otomatis ini, tidak mengembalikan juga kerugian masyarakat atas telah dibongkarnya bangunan tersebut.
Sifat paksaan riil seperti penyanderaan dan penghukuman denda paksa kepada pejabat TUN tidak dikenal dalam Hk Acara TUN, oleh karenanya pelaksanaaan paksaan terhadap Pejabat TUN untuk melaksanakan putusan TUN merupakan kesukarelaan Pejabat TUN yang bersangkutan. Apabila paksaan ini dimungkinkan harus diingat bahwa :[2]
1.        Harta benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat diletakan dalam sitaan eksekusi.
2.        Memperoleh kuasa untuk melaksanakan sendiri atas beban pemerintah (pihak tereksekusi) akan merupakan hal yang bertentangan dengan asas legalitas yang mengatakan bahwa berbuat sesuatu atau memutuskan sesuatu berdasarkan hukum publik itu semata-mata hanya dapat dilakukan oleh Badan atau pejabat TUN yang diberi kewenangan atau berdasar ketentuan UU
3.        Merampas kebebasan orang-orang yang sedang memangku jabatan pemerintahan sebagai sarana paksaan akan berakibat pantulan yang hebat terhadap jalannya pemerintahan.
4.        Pemerintah itu selalu dianggap dapat dan mampu membayar (solvabel).

B.     Hambatan Upaya Paksa Menggunakan Uang Paksa

Dalam Pasal 116 ayat (4) UU Nomor 51 Tahun 2009 disebutkan bahwa “Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.” Dwangsom/uang paksa sendiri memiliki pengertian sebagai adalah pembayaran sejumlah uang yang dibayar sekaligus atau dengan cara diangsur kepada orang atau ahli warisannya, atau hukum badan perdata yang dibebankan tergugat (Badan/Pejabat Tata Usaha Negara) karena tidak bersedia melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkcracht Van Gewijsde) dan hal tersebut menimbulkan kerugian material terhadap orang atau badan hukum perdata. Dalam penerapannya di Peradilan Tata Usaha Negara, pada prateknya terdapat beberapa permasalahan hukum perlu mendapat perhatian, antara lain :
1. Jenis putusan apa yang dikenakan Upaya Paksa?
2. Kepada siapa uang paksa dibebankan?
3. Sejak kapan uang paksa tersebut diberlakunkan?
4. Apakah Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara sudah dapat menerapkan lembaga Upaya Paksa tersebut meskipun Peraturan Pelaksana Upaya Paksa belum ada?
5. Bagaimana mekanisme pembayaran uang paksa?
Menurut sifatnya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa putusan deklaratoir yaitu yang bersifat menerangkan saja. Putusan konstitutif yaitu yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru dan putusan condemnatoir yaitu bersifat penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu terhadap yang kalah. Menurut ketentuan Pasal 97 ayat (7) UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, putusan Peradilan Tata Usaha Negara dapat berupa : Gugatan ditolak, Gugatan dikabulkan, Gugatan tidak diterima dan Gugatan gugur. Dari macam isi dan sifat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut tidak semua putusan dapat dikenakan Upaya Paksa
melainkan hanya putusan putusan yang memenuhi syarat saja, antara lain :
1. Putusan yang menyatakan gugatan dikabulkan, yaitu apabila dari hasil pemeriksaan di persidangan temyata dalil-dalil dari posita gugatan Penggugat telah terbukti secara formal maupun materiil dan telah dapat mendukung petitum yang dikemukakan Penggugat;
2. Putusan bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang sifatnya memberikan beban atau kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara seperti :
a. Kewajiban mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal/tidak sah.
b. Kewajiban menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara badan/pengganti.
c. Kewajiban mencabut dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru.
d.Kewajiban membayar ganti rugi.
e.Kewajiban melaksanakan rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian.
3. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkrachtVan Gewijsde), yaitu  putusan pengadilan yang tidak dapat diterapkan upaya hukum lagi terhadap putusan tersebut.
Sehingga macam isi dan sifat putusan yang lain seperti putusan yang sifatnya deklatoir, gugatan tidak diterima, gugatan gugur, apalagi gugatan ditolak tidak dapat dikenakan Upaya Paksa karena bukan putusan yang bersifat condemnatoir.
Beban pembayaran uang paksa menjadi permasalahan berikutnya. Menurut Supandi, SH, M.Hum, bahwa secara teori seseorang Pejabat yang sedang menjalankan tugasnya maka ia adalah sedang melaksanakan peran Negara, oleh karenanya manakala di dalam menjalankan peran/tugasnya tersebut mengakibatkan kerugian orang/masyarakat sepanjang tugas-tugas tersebut dilaksanakan menurutkan hukum, maka adalah benar apabila kerugian yang diderita orang/masyarakat tersebut dibebankan pembayarannya kepada Negara karena itu tergolong "kesalahan dinas". Hal mana berbeda dengan ketika seorang pejabat tidak mematuhi putusan hakim ( yang dapat disamakan dengan tidak mematuhi hukum), maka pada saat itu justru ia tidak sedang menjalankan peran Negara ( karena secara ideal, menjalankan peran Negara itu adalah melaksanakan ketentuan hukum), oleh karenanya resiko dari ketidakpatuhan terhadap hukum tadi tidak dapat dibebankan kepada keuangan Negara tetapi harus ditanggung secara pribadi dari orang yang sedang menjabat, karena hal tersebut adalah "kesalahan pribadi". Hal mana sejalan dengan teori 'kesalahan' yang dikembangkan dari yurisprudensi Counseil d'Etat yang pada pokoknya membedakan antara kesalahan dinas ( Faute de Serve ) dan kesalahan pribadi (Faute Personalle).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (3) dan (4) UU Nomor 51 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa “Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.” Dan dalam ayat (4) diatur bahwa “Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif”. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan pembayaran uang paksa dilakukan sejak saat berakhirnya masa penegoran/perintah Ketua pengadilan Tata Usaha sebaimana dimaksud pasal 116 ayat (3) UU Nomor 51 Tahun 2009. Namun dalam UU PTUN tidak diatur mengenai limit waktu pelaksanaan Putusan Pengadilan sehingga sering menimbulkan kerancuan-kerancuan dalam implementasinya. Untuk mengatasi hal tersebut, hendaknya limit waktu pelaksanaan Putusan PTUN harus dicantumkan di dalam perintah ketua pengadilan. Apabila dalam limit waktu yang diberikan telah lewat, maka Ketua Pengadilan membuat Penetapan yang ditujukan kepada Kepala KPN yang berwenang yang berisi perintah agar Kepala KPN tersebut memotong gaji Tergugat setiap bulan yang besarnya ditentukan dalam Amar Putusan sampai dengan Tergugat mematuhi isi putusan sampai yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam prakteknya pelaksanaan upaya paksa dengan dwangsom atau uang paksa ini belum dapat dilaksanakan dengan optimal karena aturan pelaksanaan mengenai dwangsom/uang paksa tersebut belum ada.
C.    Hambatan Upaya Paksa Berupa Sanksi Adminitratif.

Sanksi lain yang dapat dikenakan pada pejabat TUN yang tidak bersedia melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sanksi administratif. Sanksi administratif yang dapat diberikan berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa :
1.      penurunan pangkat,
2.      pembebasan dari Jabatan,
3.      pemberhentian dengan hormat,
4.      dan pemberhentian tidak dengan hormat.
 Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling tepat karena pada saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya. Perintah penjatuhan sanksi administratif ditujukan kepada pejabat yang berwenang untuk menghukum pejabat TUN tersebut. Namun, dalam hal apabila pejabat TUN adalah gubernur dan bupati karena sesuai dengan UU Otonomi Daerah secara hirarki ia tidak mempunyai atasan sebagai pejabat yang berwenang untuk menghukum, maka dalam hal ini tentunya hakim dapat memilih pengenaan uang paksa (dwangsom). Padahal aturan pelaksanaan mengenai uang paksa itu sendiri masih belum ada sehingga masih menggantung.
Disamping itu apabila pejabat TUN diwajibkan untuk merehabilitasi kedudukan, harkat dan martabat penggugat maka salinan putusan dikirim kepada pejabat TUN yang dibebani kewajiban untuk melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu 30 hari setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam praktek hal ini tidak mudah, yaitu bagi pihak administrasi, misalnya apabila jabatan yang ditinggalkan tersebut telah ada yang menggantikan,hal ini akan menjadi permasalahan yang saling terkait. Dalam kondisi semacam ini pejabat TUN tidak dapat melakukan rehabilitasi dengan sempurna karena berubahnya keadaan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, untuk keadaan seperti ini pejabat TUN wajib memberitahukan kepada penggugat dan ketua pengadilan yang berwenang. Dalam waktu 30 hari setelah pemberitahuan penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua PTUN  agar tergugat dibebani kewajiban pembayaran sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkan,namun masalahnya apakah ada anggaran untuk ganti rugi ini?

D.    Otonomi Daerah Sebagai Hambatan Pelaksanaan Putusan PTUN

Otonomi  Daerah yang pada saat ini di Indonesia diatur dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mempunyai arah dan tujuan sebagai berikut :
1.        Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
a.       Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
b.      Pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
2.      Peningkatan Daya Saing Daerah
a.       Merupakan perwujudan dari demokrasi, keadilan dan pemerataan.
b.      Wujud perhatian terhadap keanekaragaman dan kekhususan yang ada di Indonesia.
c.       Pemeliharaan hubungan harmonis antara Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom serta antar daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu alasan dilaksanakannya otonomi daerah di Indonesia karena melihat pembangunan yang terjadi di Indonesia mengalami gap yang sangat besar antara pusat dan daerah serta tidak adanya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Daerah sebagai pemilik potensi-potensi pembangunan seperti sumber daya alam dan potensi jasa lainnya justru tidak mendapatkan pembagian hasil dalam porsi yang berimbang dari Pemerintah Pusat. Sumber daya daerah terserap tetapi hasilnya tidak dapat dirasanakan maksimal oleh masyarakat di daerah.  
The first question asked was: why the present crisis and, in particular, why ordinary people (workers, farmers, clerks, etc.) will have to pay for it when, in fact, they have received only a very small portion of the pie that was growing all the time, as a result of the fast economic growth ―one of the aims of which was exactly to persuade people to work harder to enjoy more of the benefits of the consumer society and forget any questions about the overall highly unequal distribution of the economic benefits from growth. This question became harder to be answered by the political and economic elites when it became clear that it was a matter of time for the bubble to burst, not only because of the obvious ecological limitations to growth, but also because of the built-in economic contradictions of the capitalist market economy and, particularly, the fact that such an economy can only create uneven development between countries, regions and people themselves, through a huge concentration of economic power amassed into a few hands, as a result of its own dynamics.[3]
Otonomi daerah dilaksanakan sebagai perwujudan demokrasi yang real oleh masyarakat daerah. Sebelum adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan titik balik tata pemerintahan di daerah menjadi otonom, sebelumnya segala pengaturan daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dengan kata lain Pemerintah Daerah tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri. Sistem yang sentralistik ini membuat kebutuhan daerah kurang dapat terakomodasi dengan baik, dimana di setiap daerah tentu saja mempunya karakteristik yang berbeda-beda dan mempunyai kebutuhan yang berbeda antar daerah yang satu dengan yang lain. Karena keadaan yang demikian kebutuhan real masyarakat di daerah tidak dapat terpenuhi dengan baik atau lambat terealisasi. Bertolak dari hal tersebut maka dilaksanakannya otonomi daerah. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahab Daerah, dijelaskan bahwa : “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasang calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Pemilihan langsung ini memberi dampak psikologis cukup besar terhadap hubungan hirarkis antara kepala daerah dengan Presiden, seolah-olah Kepala Daerah tidak mempunyai kewenangan bertanggung jawab pada Presiden karena Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab langsung pada rakyat pemilihnya.
Keistimewaan pelaksanaan putusan PTUN adalah dimungkinkannya adanya campur tangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Pemerintahan bertanggung jawab dalam pembinaan Pegawai Negeri/ aparatur pemerintahan. Presiden sebgai Kepala Pemerintahan yang bertanggung jawab dalam pembinaan aparatur pemerintahan, tentunya bertanggung jawab agar setiap aparatur pemerintahan dapat mentaati setiap peraturan perundangan yang berlaku termasuk Putusan PTUN. Campur tangan Presiden memang diperlukan mengingat pelaksanaan putusan PTUN tidak semudah pidana atau perdata, mengingat yang menjadi tergugat selalu badan atau pejabat TUN.[4] Hal ini terlihat dalam Pasal 116 ayat (6) UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi :”Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.”
Namun seperti dijelaskan di atas, bahwa dengan otonomi daerah memberikan dampak psikologis hubungan Presiden dengan Kepala Daerah, sehingga tidak serta merta Kepala Daerah mau mentaati perintah Presiden. Selain itu campur tangan Presiden terhadap pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini dapat menjadi kerancuan dalam pemisahan kewenangan eksekutif dan yudikatif. Kewibaan Presidenpun akan dipertaruhkan apabila Presiden sering melakukan perintah-perintah ini, karena masih sangat sulit masyarakat untuk membedakan antara peran Presiden sebagai kepala negara atau sebagai kepala Pemerintahan. Selain itu, dalam UU PTUN tidak ditegaskan adanya keharusan Presiden untuk mentaati pemberitahuan dari pengadilan tersebut. Oleh karena itu ada kemungkinan tergugat tidak mau melaksanakan putusan tersebut. Apabila hal itu terjadi, tidak ada upaya lagi terhadap tergugat hal inilah yang disebut eksekusi mengapung (floating eksecution).[5] Upaya lain yang dapat ditempuh adalah mengajukan gugatan pembayaran ganti rugi tersebut kepada PN.




Daftar Pustaka

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993.
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparatur Pemerintahan dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 1992.
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,1999.
Takis Fotopolus, “The Trantitions to an Inclusive Democracy”, The International Journal of INCLUSIVE DEMOCRACY, Vol. 6, No. 2/3 (Spring/Summer 2010), The Barcelona Talks, ID meeting (April 11, 2010).


[1] . Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,199.hal 143.
[2] . Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993. Hal 142.

[3] Takis Fotopolus, “The Trantitions to an Inclusive Democracy”, The International Journal of INCLUSIVE DEMOCRACY, Vol. 6, No. 2/3 (Spring/Summer 2010), The Barcelona Talks, ID meeting (April 11, 2010).


[4] . Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 81.
[5] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparatur Pemerintahan dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 1992,hal. 87.